Kamis, Desember 08, 2011

WISATA KULINER MAGELANG

BANYAK orang sulit melupakan Magelang. Mereka yang pernah tingal di Magelang, apakah sekolah, kuliah, bekerja, atau karena alasan lain, setelah lama meninggalkan kawasan di radius spiritual bukit Tidar ini, sulit buat tidak merasa kangen. Apalagi mereka yang memang pernah lahir dan besar di Magelang, ketika harus berdiam di tempat lain yang jauh, mudah terkena home sick alias rindu kampung.

Banyak alasan buat tetap ngangeni Magelang. Itulah maka sastrawan Ayip Rosyidi suka berdiam di Pabelan. Mami Kato yang asli Jepang memilih Mendut untuk melewati kehidupannya. Budayawan WS Rendra sebulan sekali menyambangi kawasan sekitar candi Borobudur. Sudah jadi Menteri pun, Prof Malik Fajar masih menyempatkan diri mengunjungi Pangenan, Deyangan. Almarhum pelukis H Widayat menghabiskan hari tuanya dengan mendirikan museum di Kota Mungkid. Tokoh teater Gandrik Butet Kartarejasa digosipkan sudah beli tanah di Magelang dan di masa tuanya bersiap-siap hidup di Magelang. Mantan Menteri penerangan Budiarjo yang sudah malang melintang ke berbagai penjuru dunia, tetap selalu pulang kampung, dan mendirikan Hotel Pondok Tingal sebagai kenangan akan kampung halaman. Almarhum YB Mangunwijaya, dalam hampir setiap novelnya selalu menyebut-nyebut nama Magelang. Bahkan, kalau ditarik jauh ke belakang, tokoh spionase Perang Dunia I, yang banyak menggoda para jendral perang Jerman, Inggris dan Perancis, si cantik jelita bernama Matahari, juga pernah lama tinggal di sekitar Kota Mungkid ini. Tak pelak jalur Palbapang-Kota Mungkid sekarang penuh galeri artshop yang didirikan oleh para pendatang baik dari Yogyakarta maupun dari Bali.

Apanya yang menarik dari Magelang? Karena candi Borobudur yang misuwur itu? Mungkin. Karena desa-desanya yang ayem tentrem loh jinawi gemah ripah tata karta raharja itu? Mungkin. Karena gunung gemunungnya yang melingkar tanpa putus mengepung kawasan ini dan membentuk konfigurasi siluet keelokan? Mungkin. Karena gadis-gadisnya yang cantik bersahaja dan suka kerja (dan saya juga memilih satu di antaranya lo)? Mungkin juga. Tetapi dari semua kemungkinan itu, ada satu yang tak terbantahkan, Magelang kaya akan aneka makanan khas; penuh varian, nikmat, murah, dan khas. Mengapa makan? Karena di atas segala-galanya, kebutuhan utama dan pertama manusia hidup adalah makan.

Dimulai dari air, sangat-sangat lain. Kesaksian seorang sahabat, yang seorang cosmopolitan, punya rumah di Kalimantan, Batam, Jakarta, Jogjakarta, Denpasar, hingga Australia mengaku tetap punya acara ritual setahun 2 kali ke Magelang, hanya ingin minum teh dengan air dari bumi Magelang. “Airnya khas, sangat lain dibanding sudut bumi lainnya”ujar sahabat saya ini meyakinkan. Betul apa tidak, silahkan dibuktikan, coba minum sama-sama air teh, tetapi dari sumber air yang berbeda. Bedan kan?

Menthog Gedhogan

Dan harus diakui, salah satu kekuatan Kabupaten Magelang adalah kekayaan aneka makanan khasnya yang nyaris tak terhitung. Mau makan model apa, dari bahan apa saja, saja pergi ke Gedogan kecamatan Pakis, di sana kita bisa makan daging menthog dimasak lemeng dengan kayu bakar dan nasi dang. Di pemandian Kalibening dan pisangan kita bisa menikmati nasi pecel bakmi. Di pasar Pucang ada opor bebek yang tak pernah ada khabis-habisnya. Pak Broto di Glagah menyediakan nasi godhog campur kepala ayam pakai petai yang rasanya masya Allah. Di Plikon ada menthog goreng rasa Centucky made in Mbok Ju. Di Payaman Mba Yah menyediakan koyor sapi yang huamat segarr. Jika ingin nasi goreng siang pergilah ke Menayu, sepuluh ribu rupiah dijamin tidak bisa pulang saking kenyangnya. Untuk urusan bakmi godhog, Pak Parno di kapling Borobudur tak ada yang menandingi sehingga tamu-tamu Hotel Aman Jiwa selalu dibawa ke sana (kekhasan bakmi Magelang adalah mi basah yang masih segar karena sekali pakai tanpa zat pengawet). Untuk bakmi gorengnya cobalah masakan Mbak Jum dekat SMA Sarbini, Muntilan.

Ingin rica-rica Menthog? Pergilah ke Bandongan atau Pucang. Tapi kalau rica-rica ayam, Pak Sukis pasar Muntilan jagoannya. Menu soto siang hari banyak alternatif di antaranya soto Rahayu di ujung utara pasar Grabag, tapi malam hari Pak Sambi di Ngrajeg akan membuat rasa kejutan. Tahu kupat Blabak tidak kalah dengan yang di pojok alun-alun kota. Yang kremes-kremes di Paremono tersedia peyek petho yang rasanya pahit kalau berhenti makan. Mau makan ikan sungai? Pak Slamet Mendut menyediakan menu mangut tambra, kadangkala ada beong dan pelus. Kalau uceng goreng paling pastinya di Rumah Makan Purnama Muntilan. RM Cindelaras tak tertandingi masakan lodheh kluwihnya.

Clorot dan bajingan

Daftar itu masih bisa diperpanjang lagi. Gudeg yang dari Jogja pun di Muntilan tak kalah enak seperti masakan mbak Santi, Yu Dhenok, dan Mbok Jayus alias Mba Yah yang makan pakai pincuk daun di Muntilan. Di ujung jembatan kali Elo selepas Blondo kita bisa menikmati ikan goreng sambal kosrek Yu Nah. Tapi kalau bubur, saya kira paling enak seluruh dunia bikinan Ibu Sri Ayati Parsono yang dulu punya RM Saraswati di Borobudur (Lhah sekarang di mana ya?). kalau menu internasional ya tentu di restoran-restoran besar sudah menyediakan (saya tidak menyebut karena kecuali kurang selera, juga tidak khas Magelang). Tentu jangan dilupakan makanan kudapannya, dari tape ketan Muntilan, gethuk Panca Arga, slondoh dan sagon Grabag, wajik Salaman, hingga geblag, clorot dan bajingan bisa kita temukan di Hotel Pondok Tingal Borobudur.

Pendek kata, Magelang gudangnya makanan. Kalau Bondan Winarno untuk wisata kuliner di teve swasta harus keliling ke mana-mana, di Magelang cukup satu kabupaten sudah menyediakan apa saja. Sayangnya, itu semua belum dikemas dalam sebuah paket wisata, dikulinerkan (kuliner = seni memasak dan menyajikan makanan), lalu ditawarkan kepada biro-biro perjalanan agar sepulang dari candi Borobudur tidak perlu makan di Jogja, tetapi makanlah di Magelang dengan pilihan aneka menu, yang bukan saja mak nyuuss……tetapi juga murah dan khas.

Kita selama ini mengira bahwa membangun pariwisata itu membangun obyek-obyek wisata saja. Padahal hal itu tidak akan berarti kalau tidak ada pendukung lain seperti sarana akomodasi, makanan, cinederamata, seni budaya, tradisi, dan penerimaan masarakat. Semua saling mengkait, saling mendukung, termasuk wisata kulinernya. Bahkan soal kuliner inilah yang akan lebih mudah mengenalkan suatu daerah ke daerah lainnya. Jepang go international dengan tempura, sukiyaki, yakiniku dan sashimi. China dengan bak bak nya (bakso, bakmi, bakpao), Italia dengan spaghetti nya, Thailand dengan tomyang nya, India dengan martabaknya, Swiss dengan coklatnya, Belanda dengan keju nya, Negara-negara Arab dengan kurmanya, dan masih banyak lagi. Di tingkat lokal kita kenal Jawa Barat karena asinan dan lalapannya, Betawi dengan nasi uduknya, Padang karena rendang sapinya, Bali karena lawarnya, Makasar karena sotonya, Madura karena satenya, Malang karena bremnya, Lombok karena kangkungnya, Manado karena bubur ayamnya, Jogja karena gudhegnya, Solo karena nasi liwetnya, Semarang karena lumpianya, Purwokerto karena kripiknya, Banjarnegara karena buntil dan dawetnya, dan sebagainya.

Banyak yang bertanya pada saya, apakah setelah letusan Merapi semua makanan masih ada? Oh ho, tentu saja. Malah tambah gurih karena dimakan dalam alam segar pasca erupsi Merapi dalam bau harum abu debu wedhus gembel.

Nah, jadi jangan remehkan soal makan memakan, karena darinyalah populeritas dan citra suatu daerah akan terbangun. Kabupaten Magelang amat kaya akan makanan khas yang tak dimiliki daerah lainnya. Mari kita tawarkan, kita pamerkan kepada siapa saja. Tentu, kita harus mencobanya lebih dulu. Tidak berani? Saya siap menemani kok, pasti mak nyuuss……..!***

Penulis adalah penggemar makanan tradisional, tinggal di Magelang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar